PKBM Mahandhika

Berita

Dilematika Antara Sanksi Dalam Mendidik Dengan Jeratan Hukum Pidana (Menyikapi Kasus Kepsek Menghukum Anak Didiknya)

Dalam dunia pendidikan, guru memiliki tanggung jawab moral dan profesional yang sangat berat: mendidik, membimbing, dan membentuk karakter peserta didik agar menjadi manusia yang berilmu, berakhlak, dan berdisiplin. Namun dalam proses tersebut, sering kali muncul dilema yang kompleks antara tindakan pendisiplinan (sanksi pendidikan) dengan risiko jeratan hukum pidana. Dilema ini menjadi nyata ketika tindakan seorang pendidik yang dimaksudkan untuk mendidik, menegakkan tata tertib, atau memberikan efek jera kepada siswa justru dianggap sebagai pelanggaran hukum — seperti kekerasan fisik, perundungan, atau pelanggaran hak anak.

Pada dasarnya, sanksi dalam pendidikan memiliki fungsi edukatif, bukan represif. Sanksi bertujuan menanamkan kesadaran, tanggung jawab, dan perubahan perilaku. Misalnya, seorang guru memberikan teguran keras, tugas tambahan, atau pembinaan khusus kepada siswa yang melanggar aturan. Namun, batas antara “sanksi mendidik” dan “tindakan melanggar hukum” kini semakin tipis, terutama setelah lahirnya berbagai regulasi perlindungan anak seperti Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Akibatnya, banyak pendidik kini merasa ragu dan takut dalam menegakkan disiplin. Di satu sisi, guru dituntut menciptakan suasana belajar yang tertib dan berkarakter; di sisi lain, mereka dibayangi ancaman hukum jika salah bertindak atau salah diinterpretasikan oleh pihak luar. Misalnya, sebuah tindakan ringan seperti menjewer, menegur keras, atau menahan siswa di kelas bisa saja dilaporkan sebagai kekerasan fisik atau psikis. Kondisi ini menimbulkan krisis kewibawaan pendidik, bahkan melemahkan semangat guru dalam menegakkan nilai-nilai moral dan disiplin di sekolah.

Namun, di sisi lain, perlindungan terhadap anak juga merupakan hal yang tidak bisa ditawar. Sejarah mencatat bahwa banyak siswa menjadi korban kekerasan yang disamarkan sebagai "pendidikan disiplin". Kekerasan fisik, penghinaan verbal, dan hukuman yang merendahkan martabat anak jelas tidak sejalan dengan semangat pendidikan humanis dan nilai-nilai HAM. Maka, dilema ini tidak bisa disederhanakan hanya sebagai konflik antara guru dan hukum, tetapi harus dipahami sebagai masalah keseimbangan antara otoritas pendidikan dan perlindungan anak.

Adakah Solusi Terbaik ?

Jalan keluar dari dilema ini adalah dengan membangun paradigma baru dalam pemberian sanksi pendidikan, yaitu beralih dari pola hukuman fisik dan emosional menuju sanksi edukatif, reflektif, dan restoratif.
Beberapa langkah strategis yang dapat ditempuh antara lain:

  1. Penyusunan dan Sosialisasi Tata Tertib Sekolah yang Jelas dan Edukatif
    Setiap sekolah perlu memiliki tata tertib yang disusun berdasarkan prinsip pedagogis dan hukum. Sanksi harus bersifat mendidik, proporsional, dan disepakati bersama antara sekolah, siswa, dan orang tua. Dengan demikian, tidak ada lagi tindakan spontan guru yang rawan dipersoalkan secara hukum.
  2. Pelatihan dan Pembinaan Guru tentang Disiplin Positif
    Guru perlu dibekali dengan pemahaman mengenai pendekatan Disiplin Positif (Positive Discipline), yang menekankan dialog, refleksi, dan tanggung jawab. Pendekatan ini menghindari kekerasan, tetapi tetap menegakkan nilai disiplin dan tanggung jawab melalui pembinaan yang manusiawi.
  3. Kolaborasi antara Sekolah, Orang Tua, dan Aparat Penegak Hukum
    Sekolah perlu menjalin komunikasi terbuka dengan orang tua dan pihak berwenang. Jika terjadi pelanggaran atau insiden, penyelesaian sebaiknya dilakukan secara restoratif, yaitu dengan mediasi dan pemulihan hubungan, bukan langsung ke ranah pidana. Pendekatan ini lebih mencerminkan semangat pendidikan daripada penghukuman.
  4. Peningkatan Literasi Hukum bagi Tenaga Pendidik
    Guru harus memahami batas-batas hukum dalam berinteraksi dengan siswa. Pengetahuan ini penting agar pendidik tidak salah langkah, sekaligus mampu melindungi diri dari kemungkinan kriminalisasi.
  5. Peneguhan Etika Profesi Guru
    Guru hendaknya selalu mengedepankan kasih sayang, kesabaran, dan keteladanan. Kedisiplinan siswa akan tumbuh lebih kuat melalui contoh dan komunikasi empatik dibandingkan melalui hukuman fisik.

Kesimpulan

Dilema antara sanksi pendidikan dan jeratan hukum pidana adalah refleksi dari perubahan zaman, di mana nilai-nilai kemanusiaan dan hukum mulai menuntut keseimbangan baru dalam dunia pendidikan. Guru bukanlah pelaku kekerasan, tetapi juga bukan pihak yang kebal hukum. Oleh karena itu, perlu ada pemahaman bersama bahwa mendidik dengan disiplin tidak berarti menghukum dengan kekerasan, dan melindungi anak tidak berarti meniadakan kewibawaan guru.

Dengan menerapkan pendekatan disiplin positif, komunikasi terbuka, dan kesadaran hukum yang kuat, maka sekolah dapat menjadi ruang aman bagi tumbuhnya karakter, tanpa kehilangan nilai-nilai ketegasan dan tanggung jawab. Inilah keseimbangan sejati antara “pendidikan yang mendidik” dan “pendidikan yang melindungi.” ***(Eza)

Share to :
Pencarian
Kontak
Alamat :

JL. H. BUDOR KM. 01, KP. CIBINGBIN,

Telepon :

02635502002 - 087772052833

Email :

info@mahandhika.sch.id

Website :

https://www.mahandhika.sch.id

Media Sosial :
Banner
Kalender

Desember 2025

Mg Sn Sl Rb Km Jm Sb
1 2 3 4 5 6
7 8 9 10 11 12 13
14 15 16 17 18 19 20
21 22 23 24 25 26 27
28 29 30 31